Sang Penjaga Bumi
Perempuan adalah rahim semesta.
Dari tubuhnya, kehidupan bermula; dari jiwanya, dunia menemukan keseimbangan.
Ia adalah air yang lembut namun mampu membelah batu.
Angin yang tenang namun bisa menerbangkan debu
Bumi yang diam namun memberi kehidupan.
Sejarah dan mitologi telah lama memahami esensi perempuan.
Dalam banyak kebudayaan, perempuan dikaitkan dengan alam—Dewi Sri dalam kepercayaan Jawa yang menjaga kesuburan, Gaia dalam mitologi Yunani yang menjadi ibu dari segala makhluk, atau Tara dalam Buddhisme yang melambangkan welas asih dan kebijaksanaan.
Perempuan adalah arketipe dualitas: kelembutan yang kokoh, ketenangan yang bergelora.
Namun, dunia sering kali melihat perempuan dalam bingkai yang sempit.
Ia didefinisikan oleh perannya, bukan oleh jiwanya.
Diikat oleh norma, bukan oleh kebebasan yang melekat dalam dirinya.
Padahal, perempuan bukan hanya tentang peran yang diberikan kepadanya—ia adalah keberadaan itu sendiri, kehadiran yang menyatukan masa lalu dan masa depan dalam setiap langkahnya.
Perempuan adalah penjaga kehidupan, tetapi juga pencipta peradaban.
Ia mengasuh bukan hanya anak-anaknya, tetapi juga harapan dunia.
Ia menangis bukan hanya karena kesedihan, tetapi juga karena cinta yang tak terbatas.
Ia berjuang bukan untuk dirinya sendiri, tetapi untuk mereka yang akan datang setelahnya.
Maka, ketika kita berbicara tentang perempuan, kita sedang berbicara tentang asal-mula dan tujuan.
Tentang keabadian yang berjalan di antara kita, dengan kelembutan yang lebih kuat dari besi, dengan kasih sayang yang lebih dalam dari lautan.
Oleh :
Eman Sulaeman
Komentar
Posting Komentar